Kamis, 26 November 2015

Semantik untuk anak usia dini

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Bahasa pertama anak adalah bahasa yang dikenal anak sejak lahir atau disebut bahasa ibu. Orang yang paling dekat dengan anak adalah ibu, maka bahasa pertama yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak adalah bahasa ibu (Dardjowidjojo, 2008: 241). Pemerolehan bahasa pertama terjadi apabila anak yang belum pernah belajar bahasa apapun, sekarang mulai belajar bahasa untuk pertama kali. Sehubungan dengan pemerolehan bahasa pertama anak, ada faktor yang mempengaruhi yaitu perkembangan kognitif anak, perkembangan sosial anak, alat pemerolehan bahasa yang dibawa anak sejak lahir, dan urutan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif, seperti berpikir, membentuk konsep dan mengingat.
Perkembangan bahasa merupakan refleksi dari perkembangan kognitif, dan perkembangan kognitiflah yang menuntut kemahiran berbahasa seseorang. Jadi, perkembangan kognitif merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Apabila perkembangan kognitif anak cepat, maka pemerolehan bahasa pun akan cepat, begitu juga dengan pemerolehan kemampuan-kemampuan lain. Piaget (dalam Maksan, 1995:15) membagi perkembangan kognitif menjadi empat tahap. Tahap pertama disebut tahap sensori-motor yang berkisar dari umur 0;0-2;0 tahun, yang dikenal dengan masa melatih pola aksi. Tahapan ini dibagi atas: (a) 0;0-0;1 anak mengadakan latihan refleks, (2) 0;1-0;4 masa ini ditandai dengan mengigit jari, (c) 0;4-0;8 mulai terjadi koordinasi penglihatan, (d) 0;8-0;11 masa ini terjadi koordinasi skema aksi, (e) 0;11-1;6 masa ini disebut dengan skema tingkah laku, dan (f) 1;6-2;0 anak mulai mengerti dengan tindakkan atau perbuatan. Pada tahap ini, terlihat jelas bahwa perkembangan kognitif anak mulai terbentuk. Tahap kedua disebut dengan masa praoperasi yang berkisa dari umur 2;0-7;0 tahun. Tahapan ini juga terbagi atas ; (a) 2;0-4;0 anak sudah mulai mengerti dengan lambang dan yang dilambangkan, (b) 4;0-5;6 anak sudah dapat membanding sesuatu, dan (c) 5;6-7;0 anak sudah mulai mengucapkan sesuatu dengan artikulasi yang tepat. Tahap ketiga, disebut masa operasi konkret yang berkisa umur 7;0 sampai 12;0 tahun, pada masa ini anak sudah mampu menguasai struktur linguistik secara umum. Tahap keempat, yaitu masa operasi formal berkisar umur 12 tahun ke atas, dimana anak sudah bisa memantapkan segala sesuatu untuk menjadi manusia dewasa.
Hal ini merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap pemerolehan bahasa anak dimulai dari 0-5 tahun. Pada rentang usia tersebut, pemerolehan bahasa yang berupa ujaran anak perlu mendapat perhatian, khususnya pemerolehan semantik. Pemerolehan semantik merupakan bidang kajian terhadap makna. Pada saat berujar, makna menjadi pokok permasalahan. Apabila petutur mengerti makna ujaran penutur, maka komunikasi akan berlangsung. Orang tua harus mengerti makna tuturan anak agar tahu apa yang dirasakan, diinginkan, dan dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu makna menjadi konsep utama dalam berkomunikasi.
Makna menjadi kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari situasi linguistik lainnya. Orang mulai menyadari bahwa kegiatan berbahasa sesungguhnya adalah kegiatan mengekspresikan lambang-lambang bahasa tersebut kepada lawan bicaranya. Jadi, pengetahuan akan adanya hubungan antara lambang atau satuan bahasa dengan maknanya sangat diperlukan dalam berkomunikasi dengan bahasa itu.
Perkembangan bahasa, pada usia bawah lima tahun (balita) akan berkembang sangat aktif dan pesat. Keterlambatan bahasa pada periode ini, dapat menimbulkan berbagai masalah dalam proses belajar di usia sekolah. Anak yang mengalami keterlambatan bicara dan bahasa beresiko mengalami kesulitan belajar, kesulitan membaca dan menulis dan akan menyebabkan pencapaian akademik yang kurang secara menyeluruh, hal ini dapat berlanjut sampai usia dewasa muda.
Proses pemerolehan bahasa pada anak tentu tidak terjadi dalam waktu yang singkat, melainkan melewati proses panjang, yaitu seiring dengan bertambahnya usia anak tersebut. Selama berlangsungnya proses pemerolehan bahasa, Chomsky memberikan dua proses yang terjadi yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Proses kompetensi adalah proses yang berhubungan dengan penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses perfomansi yang selanjutnya terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. Sedangkan penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat sendiri (Chaer 2003:167).
Kompetensi mencakup tiga buah komponen tata bahasa, yaitu komponen sintaksis, komponen semantik, dan komponen fonologi. Oleh karena itu, pemerolehan bahasa juga dibagi menjadi pemerolehan semantik, pemerolehan sintaksis, dan pemerolehan fonologi (Chaer 2003:168). Oleh karena itu perlu bagi kita mengetahui dan memahami ilmu kebahasaan secara utuh untuk dapat menstimulasi perkembanagan bahasa anak usia dini seperti semantik.
B.     RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian semantic?
2.      Apasajakah jenis-jenis makna?
3.      Apasaja teori-teori semantic?
4.      Bagaimana Proses Pemerolehan Kata Pada Anak Secara Semantis?

C.    TUJUAN
Tujuan dalam makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui apa pengertian semantic.
2.      Untuk mengetahui apasajakah jenis-jenis makna?
3.      Untuk mengetahui apasaja teori-teori semantic?
4.      Untuk mengetahui bagaimana Proses Pemerolehan Kata Pada Anak Secara Semantis?

  

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN SEMANTIK
Semantik adalah cabang linguistik yang meneliti arti atau makna. Semantik sebagai cabang ilmu bahasa mempunyai kedudukan yang sama dengan cabang-cabang ilmu bahasa lainnya. Semantik berkedudukan sama dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di sini, yang membedakan adalah cabang-cabang ilmu bahasa ini terbagi menjadi dua bagian besar yaitu morfologi dan sintaksis termasuk pada tataran gramatika, sedangkan fonologi dan semantik termasuk pada tataran di luar gramatika.
Sejak Chomsky menyatakan betapa pentingnya semantik dalam studi linguistik, maka studi semantik sebagai bagian dari studi linguistik menjadi semakin diperhatikan. Semantik tidak lagi menjadi objek periferal, melainkan menjadi objek studi yang setaraf dengan bidang-bidang studi linguistik lainnya, baik fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Berbagai teori tentang makna mulai bermunculan, Ferdinand de Saussure, dengan teorinya bahwa tanda linguistic (signe linguistique) terdiri atas komponen signifian dan signifie. Selanjutnya, Hockett (1954) dalam Chaer (1994), menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem bahasa ini terdiri atas lima subsistem, yaitu subsistem gramatika, subsistem fonologi, subsistem morfofonemik, subsistem semantik, dan subsistem fonetik. Chomsky sendiri, dalam bukunya yang pertama tidak menyinggung-nyinggung masalah makna, baru pada buku yang kedua, (1965), menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu komponen dari tata bahasa, di samping dua komponen lain yaitu sintaksis dan fonologi, serta makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik.
Pandangan yang bermacam-macam dari para ahli mejadikan para ahli memiliki perbedaan dalam mengartikan semantik. Pengertian semantik yang berbeda-beda tersebut justru diharapkan dapat mngembangkan disiplin ilmu linguistik yang amat luas cakupannya.



1.    Charles Morrist
Mengemukakan bahwa semantik menelaah “hubungan-hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut”.

2.    J.W.M Verhaar; 1981:9
Mengemukakan bahwa semantik (inggris: semantics) berarti teori makna atau teori arti, yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti.
3.    Lehrer; 1974: 1
Semantik adalah studi tentang makna. Bagi Lehrer, semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas, karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat dan antropologi.

4.    Kambartel (dalam Bauerk, 1979: 195)
Semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia.

5.    Ensiklopedia britanika (Encyclopedia Britanica, vol.20, 1996: 313)
Semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau simbol dalam aktifitas bicara.

6.    Dr. Mansoer pateda
Semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna.

7.    Abdul Chaer
Semantik adalah ilmu tentang makna atau tentang arti. Yaitu salah satu dari 3 (tiga) tataran analisis bahasa (fonologi, gramatikal dan semantik).


Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dalam memahami suatu tuturan tergantung perkembangan psikologis anak. Setiap anak mempunyai cara tersendiri dalam memahami makna kata. Pada awalnya dalam kehidupan seorang bayi menghabiskan waktunya untuk mengamati dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi yang ada di sekitar kehidupannya. Pengamatan ini dilakukan melalui seluruh panca inderanya. Apa yang diamati dan dikumpulkan itu menjadi “pengetahuan dunianya”. Berdasarkan pengetahuan dunianya inilah si bayi memperoleh semantik bahasa dunianya dengan cara meletakkan “makna” yang tetap kepada urutan bunyi bahasa tertentu (Chaer, 2003: 194).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 2007), Semantik adalah
1)      ilmu tentang kata dan kalimat; pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti
kata.
2)      Bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan atau struktur
makna suatu wicara.
Sehingga semantik dapat disimpulkan sebagai cabang linguistik yang meneliti arti atau makna. Semantik sebagai cabang ilmu bahasa mempunyai kedudukan yang sama dengan cabang-cabang ilmu bahasa lainnya. Dalam kajian semantik bahasa anak dibawah 5 tahun, Definisi kata benda anak usia ini meliputi properti fisik seperti bentuk, ukuran ,warna dan bunyi. Definisi kata kerja anak pra sekolah juga berbeda dari kata kerja orang dewasa atau anak yang lebih besar. Anak pra sekolah dapat menjelaskan siapa, apa, kapan, di mana, untuk apa, untuk siapa, dengan apa, tapi biasanya mereka belum memahami pertanyaan bagaimana dan mengapa atau menjelaskan proses.
Bidang semantik meliputi kemampuan anak dalam memahami ujaran lawan bicaranya, seperti kemampuan memahami makna kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya. Dari mulai usia dua tahun seorang anak sudah mampu memahami beberapa kosa kata yang di ucapkan lawan bicaranya. Salah satu golongan kosakata yang dikuasai oleh anak adalah golongan kelas kata nomina terutama yang akrab dengan tempat tinggalnya.
Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuk-bentuknya benar, ini belum berarti ia telah menguasai bahasa pertamanya itu, karena dapat saja ia memberi arti yang lain pada kalimat-kalimat yang diucapkanya itu. Namun sebaliknya ada juga kecendurungan, walaupun seorang anak sudah memahami tentang arti suatu kata tetapi ia mengucapkan kosa kata tersebut menjadi berbeda atau tidak sesuai dengan kosakata yang sebenarnya.

B.     JENIS – JENIS MAKNA
1.        Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, yang sesuai dengan hasil observasi indera kita, makna apa adanya, makna yang ada di dalam kamus.
Misalnya, kuda bermakna leksikal sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai.
2.        Makna Gramatikal
Makna gramatikal terjadi apabila terdapat proses afiksasi, reduplikasi, komposisi dan kalimatisasi.
Misalnya, berkuda, kata dasar kuda berawalan ber- yang bermakna mengendarai kuda.
3.        Makna Kontekstual
Makna sebuah kata yang berada di dalam suatu konteks.
Misalnya: Rambut di kepala nenek belum ada yang putih (bermakna kepala).  Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan konteks situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu, misalnya: tiga kali empat berapa? Pertanyaan tersebut apabila dilontarkan kepada anak SD jawabannya adalah dua belas, tetapi apabila dilontarkan kepada tukang cetak foto jawabanya adalah dua ratus atau tiga ratus, karena pertanyaan tesebut mengacu pada biaya pembuatan pas photo yang berukuran tiga kali empat centimeter.

4.        Makna referansial
Adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referent (acuan), makna referensial disebut juga makna kognitif, karena memiliki acuan. Misalnya :
1)        orang itu menampar orang
2)        orang itu menampar dirinya
Pada (1) orang1 dibedakan maknanya dari orang 2 karena orang 1 sebagai pelaku dan orang 2 sebagai pengalam, sedangkan pada (2) orang memiliki makna referensial yang sama dengan  orang 1 dan orang 2 karena mengacu kepada konsep yang sama.

5.        Makna kognitif disebut juga makna denotative
Adalah makna yang menunjukkan adanya hubungan antara konsep dengan dunia kenyataan. Makna kognitif tidak hanya dimiliki kata-kata yang menunjuk benda-benda nyata, tetapi mengacu pula pada bentuk-bentuk yang makna kognitifnya, antara lain itu, ini, ke sana, ke sini.
Misalnya orang itu mata duitan.

6.        Makna konotatif
Adalah makna yang bersifat negatif, misalnya berbunga-bunga sampai tidak tahu sedangkan makna sedangkan makna emotif adalah makna yang bersifat positif, misalnya dia adalah bunga di kampung itu.

7.        Makna konseptual
Adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari sebuah konteks atau asosiasi apa pun.
Misalnya kata kuda memiliki makna konseptual sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai.

8.        Makna asosiatif
Adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa.
Misalnya kata melati berasosiasi dengan suci atau kesucian, kata merah berasosiasi dengan berani.

9.        Makna idiom
Adalah makna leksikal yang terbentuk dari beberapa kata. Kata-kata yang disusun dengan kombinasi kata lain dapat pula menghasilkan makna berlainan.

misalnya meja hijau bermakna pengadilan, membanting tulang bermakna bekerja keras.

10.    Makna pribahasa
Adalah makna yang hampir mirip dengan makna idiom, akan tetapi terdapat perbedaan, makna pribahasa adalah makna yang masih dapat ditelusuri dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya sebagai pribahasa, sedangkan makna idiom tidak dapat diramalkan.
Misalnya, seperti anjing dan kucing yang bermakna dua orang yang tidak pernah akur. Makna ini memiliki asosiasi bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersuara memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.

C.    TEORI SEMANTIK
Berkaitan dengan pemerolehan kata secara semantis, terdapat beberapa teori mengenai proses pemerolehan semantik, yakni: (a) teori hipotesis fitur semantik, (b) teori hipotesis hubungan-hubungan gramatikal, (c) teori hipotesis generalisasi dan (d) teori hipotesis primitif universal.
1)   Teori Hipotesis Fitur Semantik
Menurut beberapa ahli psikologi perkembangan, anak-anak memperoleh makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu persatu sampai semua fitur semantik itu dikuasai, seperti yang dikuasai oleh orang dewasa (Mc. Neil, 1970, Clark, 1977 dalam Chaer, 2009 : 195). Clark memberi contoh, pada mulanya anak-anak yang berbahasa Inggris menyebut semua binatang berkaki empat doggie atau kitty karena pada mulanya anak-anak itu hanya menguasai beberapa fitur semantik saja, yakni [+human], [+animal], dan [+four legs]. Lama-kelamaan fitur-fitur semantik lain juga dikuasai sehingga pada umur tertentu anak-anak dapat membedakan  doggi dan kitty
Jadi, ketika orang dewasa mengucapkan kata-kata baru dalam konteks dan situasi yang dikenal oleh kanak-kanak, maka pengenalan ini akan menolong kanak-kanak itu untuk memperoleh makna kata-kata itu berdasarkan bentuk, ukuran, bunyi, rasa, gerak, dan lain-lain dari kata-kata baru itu. Lalu, karena hanya beberapa fitur semantik yang digunakan oleh anak-anak untuk memperoleh makna kata pada tahap permulaan ini (antar satu sampai dua tahun setengah), maka penerapan berlebihan dari makna-makna ini tidak dapat dielakkan dan ini merupakan ciri khas pemerolehan makna oleh anak-anak. Dalam hal ini Clark memberikan contoh kata apel yang memiliki fitur semantik [+kecil] dan [+bundar]. Fitur semantik ini yang didasarkan pada ukuran dan bentuk, oleh anak-anak kemudian digunakan juga pada benda-benda yang kecil dan bundar seperti tombol  pintu, bola karet,  dan  lain-lain.
Selain memperoleh makna kata-kata yang terpisah, anak-anak juga memperoleh makna kata-kata yang berada dalam satu medan makna atau medan semantik, yakni kata-kata yang maknanya saling berkaitan (lihat Chaer, 1990, 1995). Umpamanya kata bawang, cabe, garam, terasi, dan jahe adalah kata-kata yang berada dalam satu medan semafitik karena kelimanya menyatakan makna 'bumbu dapur'. Kata-kata seperti itu dipelajari oleh anak-anak berdasarkan beberapa kata yang mempunyai fitur-fitur persepsi dan kategori yang sama.
Clark (1977) secara umum menyimpulkan perkembangan pemerolehan semantik ini ke dalam empat tahap yaitu sebagai berikut:
a)      Tahap Penyempitan Makna Kata
Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun (1:0 - 1:6). Pada tahap ini anak-anak menganggap satu benda tertentu yang dicakup oleh satu makna menjadi nama dari benda itu Jadi, yang disebut meong hanyalah kucing yang dipelihara di rumah saja. Begitu juga guk-guk hanyalah anjing yang ada di rumahnya saja. Tidak termasuk yang berada di luar rumah si anak.
b)      Tahap Generalisasi Berlebihan
Tahap ini berlangsung antara usia satu tahun setengah sampai dua tahun setengah (1,5 – 2,5tahun). Pada tahap ini anak-anak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Jadi, yang dimaksud dengan anjing atau gukguk dan kucing atau meong adalah semua binatang yang berkaki empat, termasuk kambing dan kerbau.
c)      Tahap Medan Semantik
Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai usia lima tahun (2,5 – 5 tahun). Pada tahap ini anak-anak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada mulanya proses ini berlangsung jika makna kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan semakin sedikit setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh anak-anak. Misalnya,  pada awalnyanya kata anjing berlaku untuk semua binatang berkaki empat; namun, setelah mereka mengenai kata kuda, kambing, dan harimau, maka kata anjing hanya berlaku untuk anjing saja.

d)    Tahap Generalisasi
Tahap ini berlangsung setelah anak-anak berusia berusia antara lima tahun sampai tujuh tahun (5-7). Pada tahap ini anak-anak telah mulai mampu mengenai benda-benda yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu mempunyai fitur-fitur semantik yang sama. Misalnya, mereka telah mampu mengenal yang dimaksud dengan hewan yaitu semua makhluk yang termasuk hewan seperti kambing, kucing, dll.

2)   Teori Hipotesis Hubungan-Hubungan Gramatikal
Teori hipotesis hubungan-hubungan gramatikal ini diperkenalkan oleh Mc. Neil (1970). Menurut Mc. Neil pada waktu dilahirkan anak-kanak telah dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal dalam nurani. Oleh karena itu, anak-anak pada awal proses pemerolehan bahasanya telah berusaha membentuk satu "kamus makna kalimat" (sentences-meaning dictionary), yaitu setiap butir leksikal dicantumkan dengan semua hubungan gramatikal yang digunakan secara lengkap pada tahap holofrasis. Pada tahap holofrasis ini anak-anak belum mampu menguasai fitur-fitur semantik karena terlalu membebani ingatan mereka. Jadi, pada awal pemerolehan semantik hubungan-hubungan gramatikal inilah yang paling penting karena telah tersedia secara nurani sejak lahir. Sedangkan fitur-fitur semantik hanya perlu pada tahap lanjutan pemerolehan semantik ini.
Penyesuaian kamus makna kata ini merupakan perkembangan kosakata kanak-kanak yang dilakukan secara horizontal atau secara vertikal. Secara horizontal artinya pada mulanya kanak-kanak hanya memasukkan beberapa fitur semantik untuk setiap butir leksikal ke dalam kamusnya. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya barulah terjadi penambahan fitur-fitur lainnya secara berangsur-angsur. Secara vertikal, artinya anak-anak secara serentak memasukkan semua fitur semantik sebuah kata ke dalam kamusnya; tetapi kata-kata itu terpisah satu sama lain. Dalam hal ini berarti fitur-fitur semantik anak-anak itu sama dengan fitur-fitur semantik orang dewasa.

3)   Teori Hipotesis Generalisasi
Teori hipotesis generalisasi ini diperkenalkan oleh Anglin (1975, 1977). Menurut Anglin perkembangan semantik kanak-kanak mengikuti satu proses generalisasi, yakni kemampuan kanak-kanak melihat hubungan-hubungan semantik antara nama-nama benda (kata-kata) mulai dari yang konkret sampai pada yang abstrak. Pada tahap permulaan pemerolehan semantik ini anak-anak hanya mampu menyadari hubungan-hubungan konkret yang khusus di antara benda-benda itu. Bila usianya bertambah mereka membuat generalisasi terhadap kategori-kategori abstrak yang lebih jelas. Misalnya, pada awal perkembangan pemerolehan semantik anak-anak telah mengetahui kata-kata melati dan mawar melalui hubungan konkret antara kata itu dengan bunga-bunga tersebut.
Pada tahap berikutnya setelah mereka semakin matang, mereka akan menggolongkan kata-kata tersebut dengan kata yang lebih tinggi kelasnya atau melalui generalisasi yaitu bunga. Selanjutnya, setelah usia mereka semakin bertambah, maka mereka pun akan memasukkan bunga ke dalam kelompok-kelompok yang lebih tinggi, yaitu tumbuh-tumbuhan.

4)   Teori Hipotesis Primitif Universal
Teori ini mula-mula diperkenalkan oleh Postal (1966), lalu dikembangkan oleh Bierwisch (1970) dengan lebih terperinci. Menurut Postal semua bahasa yang ada di dunia ini dilandasi oleh satu perangkat primitif-primitif semantik universal (yang kira-kira sama dengan penanda-penanda semantik dan fitur-fitur semantik).
Selanjutnya Bierwisch menyatakan bahwa primitif-primitif semantik atau komponen-komponen atau fitur-fitur semantik ini mewakili kategori-kategori atau prinsip-prinsip yang sudah ada sejak awal yang digunakan oleh manusia untuk menggolong-golongkan struktur benda-benda atau situasi-situasi yang diamati oleh manusia itu.
Dalam pemerolehan makna kanak-kanak tidak perlu mempelajari komponen-komponen makna itu karena komponen-komponen makna itu telah tersedia sejak dia lahir. Sesuatu yang perlu dipelajari adalah hubungan-hubungan komponen ini dengan "milik-milik" fonologi dan sintaksis, bahasanya. Ini berarti, bahwa manusia menafsirkan semua yang diamatinya berdasarkan primitif-primitif semantik yang telah tersedia sejak dia lahir. Dengan demikian, hipotesis primitif-primitif universal ini mau tidak mau harus menghubungkan perkembangan semantik kanak-kanak dengan perkembangan kognitif umum kanak-kanak itu.

D.    PROSES PEMEROLEHAN KATA PADA ANAK SECARA SEMANTIS
Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dalam memahami suatu tuturan tergantung perkembangan psikologis anak. Setiap anak mempunyai cara tersendiri dalam memahami makna kata. Pada awalnya dalam kehidupan seorang bayi menghabiskan waktunya untuk mengamati dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi yang ada di sekitar kehidupannya. Pengamatan ini dilakukan melalui seluruh panca inderanya. Apa yang diamati dan dikumpulkan itu menjadi “pengetahuan dunianya”. Berdasarkan pengetahuan dunianya inilah si bayi memperoleh semantik bahasa dunianya dengan cara meletakkan “makna” yang tetap kepada urutan bunyi bahasa tertentu (Chaer, 2003: 194).
Bidang semantik meliputi kemampuan anak dalam memahami ujaran lawan bicaranya, seperti kemampuan memahami makna kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya. Dari mulai usia dua tahun seorang anak sudah mampu memahami beberapa kosa kata yang di ucapkan lawan bicaranya. Salah satu golongan kosakata yang dikuasai oleh anak adalah golongan kelas kata nomina terutama yang akrab dengan tempat tinggalnya.
Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuk-bentuknya benar, ini belum berarti ia telah menguasai bahasa pertamanya itu, karena bisa saja ia memberi arti yang lain pada kalimat-kalimat yang diucapkanya itu. Namun sebaliknya ada juga kecendurungan, walaupun seorang anak sudah memahami tentang arti suatu kata tetapi ia mengucapkan kosa kata tersebut menjadi berbeda atau tidak sesuai dengan kosakata yang sebenarnya.



























BAB III
PENUTUP

Semantik adalah cabang linguistik yang meneliti arti atau makna. Semantik sebagai cabang ilmu bahasa mempunyai kedudukan yang sama dengan cabangcabang ilmu bahasa lainnya. Semantik berkedudukan sama dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di sini, yang membedakan adalah cabang-cabang ilmu bahasa ini terbagi menjadi dua bagian besar yaitu morfologi dan sintaksis termasuk pada tataran gramatika, sedangkan fonologi dan semantik termasuk pada tataran di luar gramatika.
Jenis – jenis makna dalam semantic yaitu: makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual, makna referansial, makna kognitif disebut juga makna denotative, makna konotatif , makna konseptual, makna asosiatif, makna idiom, makna pribahasa.
Terdapat beberapa teori mengenai proses pemerolehan semantik, yakni: (a) teori hipotesis fitur semantik, (b) teori hipotesis hubungan-hubungan gramatikal, (c) teori hipotesis generalisasi dan (d) teori hipotesis primitif universal.
Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuk-bentuknya benar, ini belum berarti ia telah menguasai bahasa pertamanya itu, karena bisa saja ia memberi arti yang lain pada kalimat-kalimat yang diucapkanya itu. Namun sebaliknya ada juga kecendurungan, walaupun seorang anak sudah memahami tentang arti suatu kata tetapi ia mengucapkan kosa kata tersebut menjadi berbeda atau tidak sesuai dengan kosakata yang sebenarnya.








DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Darjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Unika Atama Jaya
Kentjono, Djoko. 1990. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta: FS UI.

Maksan, Marjusman. 1995. Psikolinguistik. Padang: IKIP Padang Prees.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar