SIFAT-SIFAT
PEMAHAMAN ANAK DALAM NILAI-NILAI AGAMA DAN MORAL
Devy
Intan Pujiawati, S. Pd
Pemahaman
dan penanaman nilai agama dan moral yang semakin bertambah, akan sangat
membantu anak dalam melakukan komunikasi secara baik, yang memungkinkan anak
diterima oleh lingkungan social sekitar dengan baik. Seiring dengan
meningkatnya perkembangan moral pada anak maka meningkat pulalah ketrampilan
sosialisasi anak. Kita juga sering mendengar anak bertanya dengan polosnya.
Tidak jarang mereka mampu mengajukan pertanyaan dengan jeli dan kritis. Bahkan
anak masih memiliki persepsi yang keliru dalam memahami konsep. Unreflektif, egocentis, misunderstand,
verbalis dan ritualis, merupakan
sifat-sifat pemahaman anak terhadap nilai-nilai keagamaan.
1.
UNREFLEKTIF
Menurut
John Eckol (1995) islilah unreflektif dapat dimaknai sebagai tidak mendalam/
tidak/kurang dapat memikarkan secara mendalam atau anak tidak dapat
menerangkannya. Artinya salah satu sifat anak dalam memahami pengetahuan yang
berkaitan dengan hal-hal yang abstrak seperti pengetahuan / ajaran agama tidak
merupakan hal yang harus dipedulikan dengan serius. Kalaupun mereka belajar dan
mengerjakannya, itu mereka lakukan dengan sikap dan sifat dasar kekanakannya,
tidak serius, bercanda, dan main-main asal mengikuti apapun yang diperintahkan
kepadanya.
Seperti
diminta gurunya mengerjakan ibadah solat berjamaah dengan tertib, maka sangat
manusiawi jika ada yang mengerjakan dengan bercanda, main-main, dan kurang
serius. Contoh lain ketika anak belajar mengucapkan hafalan doa kita dapat
mendengarkan kemampuan vokalnya yang kurang maksimal. Terkadang masih cadel,
pelo, dan kurang sempurna.
Hal
demikian jangan kita jadikan sebagai sebuah masalah ketidak berhasilan suatu
kompetensi belajar, namun harus dijadikan sebagai hal yang objektif itulah
hakikat anak dengan prestasi dan kompetensi sesungguhnya, yang harus kita
hargai dengan baik, tidak memaksakan kehendak seperti memaksa untuk
mengikuti/mencontoh dengan tepat dan persis serta tidak member hukuman dan
memarahi anak.
2.
EGOCENTRIS
Sifat
yang kedua ini memiliki makna bahwa pada diri anak sesuai dengan perkembangan
kejiwaannya, lebih mementingkan kemauannya sendiri dalam segala hal. Tidak
peduli dengan urusan orang lain dan lebih terfokus pada hal-hal yang
menguntungkan dirinya. Demikian pula dengan sifat anak dalam mempelajari nilai-nilai
agama yang dipelajarinya. Anak sering bertindak kurang konsisten terhadap apa
yang mereka kerjakan. Terkadang anak begitu rajin mengerjakna kegiatan
keagamaan seperti membaca kitap suci, belajar sembahyang, dan pergi ke tempat
ibadah. Namun disisi yang lain, kita tak jarang menemukan perilaku yang
sebaliknya. Meski berulang kali mengingatkan anak untuk melakukan kegiatan
tersebut, namun jika anak tidak mood, malas, dan lebih asyik bermain maka semua
perintah dan anjuran kitapun tidak dipedulikannya.
Memperhatikan sifat egocentris ini,
maka kita sebagai orangtua dan guru sangat tepat apabila menganggap bahwa sifat
tersebut merupakan hal yang wajar, karena memang kondisi psikologis anak yang
masih labil dan belum matang. Kita harus memaklumi itu, namun tidak berarti
membiarkan tanpa upaya pada arah yang positif. Kita harus tetap melakukan
pendekatan yang progresif, dan tetap menggunakan pendekatan penyadaran kepada
anak.
3.
MISUNDERSTANDING
Seperti yang
diungkapkan oleh system pendidikan neo humanis dalam masalah Spiritualitas
dikatakan bahwa: bagi anak kecil, segala-galanya itu semua hidup, dan menjadi
sumber kekaguman (I. Ketut, 1999: 84). Ketika mendengar bahwa Allah itu Maha
Besar maka akan muncul pemahaman yang keliru dari diri anak yang membayangkan bahwa
Tuhan itu seperti raksasa. Ketika anak mendapat penjelasan bahwa Allah bersifat
Maha Pemberi/Penyayang maka anak pun akan membayangkan bahwa dia bias diberi
uang, kue, atau es cream langsung dari Tuhan jika melakukan permohonan melalui
doa. Serta ketika anak mendengar bahwa Allah Maha Melihat, akan terbayang pada
pemikiran anak, seberapa besar mata Tuhan itu.
Kejelian dan
kedewasaan adalah syarat yang seharusnya dimiliki oleh setiap guru dan orangtua
dalam hal tersebut. Sebab apabila kita tidak demikian maka akan banyak terjadi
para guru dan orang tua melakukan pendekatan yang kurang tepat seperti
mencemooh, menyalahkan anak langsung di depan teman-temannya, mempermalukan
anak di depan kelas hanya karena anak mengungkapkan kekeliruan dalam pemahaman tersebut.
4.
VERBALIS
DAN RITUALIS
Seperti yang
diungkapkan oleh Elizabeth B. H (1997:188); setiap anak belajar berbicara,
mereka berbicara hamper tidak putus-putusnya. Keterampilan baru yang diperoleh,
menimbulkan rasa penting bagi mereka. Diperkirakan bahwa rata-rata anak yang
berusia 3-4 tahun menggunakan 15.000 kata setiap hari atau dalam setahunnya
menggunakan kata kira-kira 5,5 juta kata. Kondisi seperti itu dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan nilai-nilai agama pada diri mereka, dengan
cara memperkenalkan istilah, bacaan, dan ungkapan yang bersifat agamis. Seperti
shalat, naik haji, infak, berjamaah, hafalan doa, hafalan surat-surat pendek,
nama malaikat, dll, sekaligus dapat dijadikan sebagai latihan pengembangan
verbal mereka. Kadang sering kita temui ketika anak mengenalsatu kata baru anak
selalu menggunakan kata tersebut dalam setiap berbicara terlepas cocok atau
tidaknya menggunakan islilah tersebut dengan konteks yang dimaksud anak.
Demikian halnya
dengan hakikat anak prasekolah dalam melakukan sesuatu. Menurut landasan
keilmuan tentang bagaimana anak prasekolah belajar. Hal-hal yang perlu
diperhatikan orangtua dan guru ialah: anak membutuhkan latihan dan rutinitas,
pengalaman langsung adalah hal yang kritis bagi anak (Early Childhood Education
& Development Center, 2003 : 14, 16). Melakukan sesuatu secara berulang
adalah suatu keharusan dan kesenangan bagi anak. Mereka tak pernah bosan
melakukan sesuatu dalam frekuensi tinggi atau rentang waktu yang singkat.
Rutinitas juga menjadi hal penting dalam kehidupan anak karena
pengulangan(repetisi) merupakan keharusan dalam proses belajar anak dan
rutinitas menjadi hal yang krusial dalam mengembangkan kebiasaan yang baik.
Kondisi seperti
itu seharusnya dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan nilai-nilai agama
pada anak, melalui strategi atau pendekatan praktek langsung. Misalnya kita
dapat mengenalkan kegiatan praktek sholat, berwudhu, berkunjung ke masjid, dll.
Pengalaman nyata seperti itu akan memberikan pengalaman belajar yang baik bagi
pembentukan moralitas anak. Sehingga anak tidak melulu dijejali dengan hal-hal
yang bersifat informatif.
5.
IMITATIVE
Kemampuan
anak dalam fase perkembangannya masih berada dalam tahap dasar. Anak belajar
dari apa yang pernah dilihat sebagai pengalaman belajar. Hal ini dilandasi oleh
masih terbatasnya kemampuan anak dalam mengungkapkan kata-kata, kebaranian
bertanya dan mengeluarkan gagasan sehingga lebih banyak meniru dari orang
disekitarnya (Satibi 2008). Hal ini dapat menjadi pendorong bagi guru dan orang
tua agar mampu menjadi sosok manusia yang memberikan contoh yang terbaik yang
akan mereka tiru. Kita harus mempersiapkan diri dengan menguasai materi agar
pengucapan doa, gerakan sholat, dll yang kita contohkan sempurna, sehingga apa
yang kita ajarkan kepada mereka dapat memberikan contoh yang baik dan benar.
Daftar
Pustaka
Developmentally
Appropriate Practice. 2003. Bandung: Al Mabrur.
Hurlock,
E. B. 1997. Perkembangan Anak I dan II. Jakarta: Erlangga.
Ketut
I. Anak Masa Depan. Jakarta: Persatuan ananda Marga Indonesia.
Satibi
H. O. (2008). Metode Pengembangan Moral dan Nilai-Nilai Agama. Jakarta:
Universitas
Terbuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar