Minggu, 22 Maret 2015

SIFAT-SIFAT PEMAHAMAN ANAK DALAM NILAI-NILAI AGAMA DAN MORAL




           
SIFAT-SIFAT PEMAHAMAN ANAK DALAM NILAI-NILAI AGAMA DAN MORAL


Devy Intan Pujiawati, S. Pd



Pemahaman dan penanaman nilai agama dan moral yang semakin bertambah, akan sangat membantu anak dalam melakukan komunikasi secara baik, yang memungkinkan anak diterima oleh lingkungan social sekitar dengan baik. Seiring dengan meningkatnya perkembangan moral pada anak maka meningkat pulalah ketrampilan sosialisasi anak. Kita juga sering mendengar anak bertanya dengan polosnya. Tidak jarang mereka mampu mengajukan pertanyaan dengan jeli dan kritis. Bahkan anak masih memiliki persepsi yang keliru dalam memahami konsep. Unreflektif, egocentis, misunderstand, verbalis dan ritualis, merupakan sifat-sifat pemahaman anak terhadap nilai-nilai keagamaan.
1.      UNREFLEKTIF
      Menurut John Eckol (1995) islilah unreflektif dapat dimaknai sebagai tidak mendalam/ tidak/kurang dapat memikarkan secara mendalam atau anak tidak dapat menerangkannya. Artinya salah satu sifat anak dalam memahami pengetahuan yang berkaitan dengan hal-hal yang abstrak seperti pengetahuan / ajaran agama tidak merupakan hal yang harus dipedulikan dengan serius. Kalaupun mereka belajar dan mengerjakannya, itu mereka lakukan dengan sikap dan sifat dasar kekanakannya, tidak serius, bercanda, dan main-main asal mengikuti apapun yang diperintahkan kepadanya.
            Seperti diminta gurunya mengerjakan ibadah solat berjamaah dengan tertib, maka sangat manusiawi jika ada yang mengerjakan dengan bercanda, main-main, dan kurang serius. Contoh lain ketika anak belajar mengucapkan hafalan doa kita dapat mendengarkan kemampuan vokalnya yang kurang maksimal. Terkadang masih cadel, pelo, dan kurang sempurna.
            Hal demikian jangan kita jadikan sebagai sebuah masalah ketidak berhasilan suatu kompetensi belajar, namun harus dijadikan sebagai hal yang objektif itulah hakikat anak dengan prestasi dan kompetensi sesungguhnya, yang harus kita hargai dengan baik, tidak memaksakan kehendak seperti memaksa untuk mengikuti/mencontoh dengan tepat dan persis serta tidak member hukuman dan memarahi anak.
2.      EGOCENTRIS
            Sifat yang kedua ini memiliki makna bahwa pada diri anak sesuai dengan perkembangan kejiwaannya, lebih mementingkan kemauannya sendiri dalam segala hal. Tidak peduli dengan urusan orang lain dan lebih terfokus pada hal-hal yang menguntungkan dirinya. Demikian pula dengan sifat anak dalam mempelajari nilai-nilai agama yang dipelajarinya. Anak sering bertindak kurang konsisten terhadap apa yang mereka kerjakan. Terkadang anak begitu rajin mengerjakna kegiatan keagamaan seperti membaca kitap suci, belajar sembahyang, dan pergi ke tempat ibadah. Namun disisi yang lain, kita tak jarang menemukan perilaku yang sebaliknya. Meski berulang kali mengingatkan anak untuk melakukan kegiatan tersebut, namun jika anak tidak mood, malas, dan lebih asyik bermain maka semua perintah dan anjuran kitapun tidak dipedulikannya.
            Memperhatikan sifat egocentris ini, maka kita sebagai orangtua dan guru sangat tepat apabila menganggap bahwa sifat tersebut merupakan hal yang wajar, karena memang kondisi psikologis anak yang masih labil dan belum matang. Kita harus memaklumi itu, namun tidak berarti membiarkan tanpa upaya pada arah yang positif. Kita harus tetap melakukan pendekatan yang progresif, dan tetap menggunakan pendekatan penyadaran kepada anak.
3.      MISUNDERSTANDING
Seperti yang diungkapkan oleh system pendidikan neo humanis dalam masalah Spiritualitas dikatakan bahwa: bagi anak kecil, segala-galanya itu semua hidup, dan menjadi sumber kekaguman (I. Ketut, 1999: 84). Ketika mendengar bahwa Allah itu Maha Besar maka akan muncul pemahaman yang keliru dari diri anak yang membayangkan bahwa Tuhan itu seperti raksasa. Ketika anak mendapat penjelasan bahwa Allah bersifat Maha Pemberi/Penyayang maka anak pun akan membayangkan bahwa dia bias diberi uang, kue, atau es cream langsung dari Tuhan jika melakukan permohonan melalui doa. Serta ketika anak mendengar bahwa Allah Maha Melihat, akan terbayang pada pemikiran anak, seberapa besar mata Tuhan itu.
Kejelian dan kedewasaan adalah syarat yang seharusnya dimiliki oleh setiap guru dan orangtua dalam hal tersebut. Sebab apabila kita tidak demikian maka akan banyak terjadi para guru dan orang tua melakukan pendekatan yang kurang tepat seperti mencemooh, menyalahkan anak langsung di depan teman-temannya, mempermalukan anak di depan kelas hanya karena anak mengungkapkan kekeliruan dalam pemahaman tersebut.
4.      VERBALIS DAN RITUALIS
Seperti yang diungkapkan oleh Elizabeth B. H (1997:188); setiap anak belajar berbicara, mereka berbicara hamper tidak putus-putusnya. Keterampilan baru yang diperoleh, menimbulkan rasa penting bagi mereka. Diperkirakan bahwa rata-rata anak yang berusia 3-4 tahun menggunakan 15.000 kata setiap hari atau dalam setahunnya menggunakan kata kira-kira 5,5 juta kata. Kondisi seperti itu dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan nilai-nilai agama pada diri mereka, dengan cara memperkenalkan istilah, bacaan, dan ungkapan yang bersifat agamis. Seperti shalat, naik haji, infak, berjamaah, hafalan doa, hafalan surat-surat pendek, nama malaikat, dll, sekaligus dapat dijadikan sebagai latihan pengembangan verbal mereka. Kadang sering kita temui ketika anak mengenalsatu kata baru anak selalu menggunakan kata tersebut dalam setiap berbicara terlepas cocok atau tidaknya menggunakan islilah tersebut dengan konteks yang dimaksud anak.
Demikian halnya dengan hakikat anak prasekolah dalam melakukan sesuatu. Menurut landasan keilmuan tentang bagaimana anak prasekolah belajar. Hal-hal yang perlu diperhatikan orangtua dan guru ialah: anak membutuhkan latihan dan rutinitas, pengalaman langsung adalah hal yang kritis bagi anak (Early Childhood Education & Development Center, 2003 : 14, 16). Melakukan sesuatu secara berulang adalah suatu keharusan dan kesenangan bagi anak. Mereka tak pernah bosan melakukan sesuatu dalam frekuensi tinggi atau rentang waktu yang singkat. Rutinitas juga menjadi hal penting dalam kehidupan anak karena pengulangan(repetisi) merupakan keharusan dalam proses belajar anak dan rutinitas menjadi hal yang krusial dalam mengembangkan kebiasaan yang baik.
Kondisi seperti itu seharusnya dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan nilai-nilai agama pada anak, melalui strategi atau pendekatan praktek langsung. Misalnya kita dapat mengenalkan kegiatan praktek sholat, berwudhu, berkunjung ke masjid, dll. Pengalaman nyata seperti itu akan memberikan pengalaman belajar yang baik bagi pembentukan moralitas anak. Sehingga anak tidak melulu dijejali dengan hal-hal yang bersifat informatif.
5.      IMITATIVE
            Kemampuan anak dalam fase perkembangannya masih berada dalam tahap dasar. Anak belajar dari apa yang pernah dilihat sebagai pengalaman belajar. Hal ini dilandasi oleh masih terbatasnya kemampuan anak dalam mengungkapkan kata-kata, kebaranian bertanya dan mengeluarkan gagasan sehingga lebih banyak meniru dari orang disekitarnya (Satibi 2008). Hal ini dapat menjadi pendorong bagi guru dan orang tua agar mampu menjadi sosok manusia yang memberikan contoh yang terbaik yang akan mereka tiru. Kita harus mempersiapkan diri dengan menguasai materi agar pengucapan doa, gerakan sholat, dll yang kita contohkan sempurna, sehingga apa yang kita ajarkan kepada mereka dapat memberikan contoh yang baik dan benar.
Daftar Pustaka
Developmentally Appropriate Practice. 2003. Bandung: Al Mabrur.
Hurlock, E. B. 1997. Perkembangan Anak I dan II. Jakarta: Erlangga.
Ketut I. Anak Masa Depan. Jakarta: Persatuan ananda Marga Indonesia.
Satibi H. O. (2008). Metode Pengembangan Moral dan Nilai-Nilai Agama. Jakarta: Universitas
              Terbuka.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar